Stridor adalah
suara, abnormal bernada tinggi yang dihasilkan oleh aliran udara turbulen
melalui sebagian jalan napas yang terhambat pada tingkat supraglottis, glotis,
subglottis, dan atau trakea. Karakteristik nada suara barmacam-macam (misalnya,
kasar, musik, atau mendesah), namun kombinasi dengan, volume,durasi, tingkat
onset, dan gejala terkait, karakter nada dapat memberikan petunjuk tambahan
diagnostik. Dalam semua kasus, itu harus dibedakan dari stertor, yang merupakan
suara, bernada rendah-mendengkur-jenis yang dihasilkan di tingkat nasofaring,
oropharynx, dan, kadang-kadang,supraglottis.
B. Etiologi
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi timbulnya serangan
Stridor bronkhial.
1.
Faktor
predisposisi
Genetik
Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya,
meskipun belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita
dengan penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita
penyakit alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena
penyakit stridor bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu
hipersentifisitas saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2.
Faktor
presipitasi
a.
Alergen
Dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu
:
1)
Inhalan,
yang masuk melalui saluran pernapasan
ex: debu, bulu binatang, serbuk bunga, spora jamur, bakteri
dan polusi
2)
Ingestan,
yang masuk melalui mulut
ex: makanan dan
obat-obatan
3)
Kontaktan,
yang masuk melalui kontak dengan kulit
ex: perhiasan,
logam dan jam tangan
b.
Perubahan
cuaca
Cuaca lembab dan
hawa pegunungan yang dingin sering mempengaruhi stridor. Atmosfir yang mendadak
dingin merupakan faktor pemicu terjadinya serangan stridor. Kadang-kadang
serangan berhubungan dengan musim, seperti: musim hujan, musim kemarau, musim
bunga. Hal ini berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c.
Stress
Stress/ gangguan
emosi dapat menjadi pencetus serangan stridor, selain itu juga bisa memperberat
serangan stridor yang sudah ada. Disamping gejala stridor yang timbul harus
segera diobati penderita stridor yang mengalami stress/gangguanemosi perlu
diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah pribadinya. Karena jika stressnya
belum diatasi maka gejala stridornya belum bisa diobati.
d.
Lingkungan
kerja
Mempunyai
hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan stridor. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja.
Misalnya orang yang bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik
asbes, polisi lalu lintas. Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e.
Olah
raga/ aktifitas yang berat
Sebagian besar
penderita stridor akan mendapat serangan jika melakukan aktifitas jstridorni
atau aloh raga yang berat. Lari cepat paling mudah menimbulkan serangan
stridor. Serangan stridor karena aktifitas biasanya terjadi segera setelah
selesai aktifitas tersebut.
C. Patofisiologi
Bila seseorang
menghirup alergen maka antibody Ig E orang tersebut meningkat, alergen bereaksi
dengan antibodi yang telah terlekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini akan
mengeluarkan berbagai macam zat, diantaranya histamin, zat anafilaksis yang
bereaksi lambat (yang merupakan leukotrient), factor kemotaktik eosinofilik dan
bradikinin. Efek gabungan dari semua faktor-faktor ini akan menghasilkan adema
lokal pada dinding bronkhioulus kecil maupun sekresi mucus yang kental dalam
lumen bronkhioulus dan spasme otot polos bronkhiolus sehingga menyebabkan
tahanan saluran napas menjadi sangat meningkat.
Pada stridor,
diameter bronkiolus lebih berkurang selama ekspirasi dari pada selama inspirasi
karena peningkatan tekanan dalam paru selama eksirasi paksa menekan bagian luar
bronkiolus. Karena bronkiolus sudah tersumbat sebagian, maka sumbatan
selanjutnya adalah akibat dari tekanan eksternal yang menimbulkan obstruksi
berat terutama selama ekspirasi.
Pada penderita
stridor biasanya dapat melakukan inspirasi dengan baik dan adekuat, tetapi
sekali-kali melakukan ekspirasi. Hal ini
menyebabkan dispnea. Kapasitas residu fungsional dan volume residu paru menjadi
sangat meningkat selama serangan stridor akibat kesukaran mengeluarkan udara
ekspirasi dari paru. Hal ini bisa menyebabkan barrel chest.
Etiologi
↓
Merangsang imun dan kontraksi saluran pernafasan
↓
Penyempitan aliran udara inspirasi dan ekspirasi
↓
Timbul bunyi abnormal saat eks dan inspirasi
↓
Gangguan pada aliran oksigen dan karbondioksia
↓
Gangguan pertukaran gas
↓
Hipoksia, anoreksia, cemas
D. Manifestasi Klinik
Biasanya pada penderita yang sedang bebas serangan
tidak ditemukan gejala klinis, tapi pada saat serangan penderita tampak
bernafas cepat dan dalam, gelisah, duduk dengan menyangga ke depan, serta tanpa
otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Gejala klasik dari stridor ini adalah sesak nafas, mengi ( whezing ),
batuk, dan pada sebagian penderita ada yang merasa nyeri di dada. Gejala-gejala
tersebut tidak selalu dijumpai bersamaan.
Pada serangan stridor yang lebih berat,
gejala-gejala yang timbul makin banyak, antara lain : silent chest, sianosis,
gangguan kesadaran, hyperinflasi dada, tachicardi dan pernafasan cepat dangkal
. Serangan stridor seringkali terjadi pada malam hari.
E. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah
1.
Analisa
gas darah pada umumnya normal akan
tetapi dapat pula terjadi hipoksemia,
hiperkapnia, atau asidosis.
2.
Kadang
pada darah terdapat peningkatan dari SGOT dan LDH.
3.
Hiponatremia
dan kadar leukosit kadang-kadang di atas 15.000/mm3 dimana menandakan
terdapatnya suatu infeksi.
Pencetus :
·
Allergen,
Olahraga, Cuaca, Emosi
·
Imun
respon menjadi aktif Pelepasan mediator humoral
·
Histamine,
SRS-A, Serotonin, Kinin, Bronkospasme
·
Edema
mukosa, Sekresi meningkat, inflamasi, Penghambat kortikosteroid
·
Pada
pemeriksaan faktor-faktor alergi terjadi peningkatan dari Ig E pada waktu
serangan dan menurun pada waktu bebas dari serangan.
F. Pemeriksaan penunjang
1.
Pemeriksaan
radiologi
Gambaran radiologi pada stridor pada umumnya
normal. Pada waktu serangan menunjukan gambaran hiperinflasi pada paru-paru
yakni radiolusen yang bertambah dan peleburan rongga intercostalis, serta
diafragma yang menurun. Akan tetapi bila terdapat komplikasi, maka kelainan
yang didapat adalah sebagai berikut:
· Bila disertai dengan bronkitis, maka
bercak-bercak di hilus akan bertambah.
Bila terdapat
komplikasi empisema (COPD), maka gambaran radiolusen akan semakin bertambah.
· Bila terdapat komplikasi, maka terdapat
gambaran infiltrate pada paru
· Dapat pula menimbulkan gambaran
atelektasis lokal.
·
Bila
terjadi pneumonia mediastinum, pneumotoraks, dan pneumoperikardium, maka dapat
dilihat bentuk gambaran radiolusen pada paru-paru.
2.
Pemeriksaan
tes kulit
Dilakukan untuk mencari faktor alergi dengan
berbagai alergen yang dapat menimbulkan reaksi yang positif pada stridor.
3.
Elektrokardiografi
Gambaran elektrokardiografi yang terjadi selama
serangan dapat dibagi menjadi 3 bagian,
dan disesuaikan dengan gambaran yang terjadi pada empisema paru yaitu :
· Perubahan aksis jantung, yakni pada
umumnya terjadi right axis deviasi dan clock wise rotation.
· Terdapatnya tanda-tanda hipertropi otot
jantung, yakni terdapatnya RBB
(Right bundle branch block).
·
Tanda-tanda
hopoksemia, yakni terdapatnya sinus tachycardia, SVES, dan VES atau terjadinya
depresi segmen ST negative.
4.
Scanning
paru
Dengan scanning paru melalui inhalasi dapat
dipelajari bahwa redistribusi udara selama serangan stridor tidak menyeluruh
pada paru-paru.
5.
Spirometri
Untuk menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas
reversible, cara yang paling cepat dan sederhana diagnosis stridor adalah
melihat respon pengobatan dengan bronkodilator.
Pemeriksaan spirometer dilakukan sebelum dan
sesudah pamberian bronkodilator aerosol (inhaler atau nebulizer) golongan
adrenergik. Peningkatan FEV1 atau FVC sebanyak lebih dari 20% menunjukkan diagnosis
stridor.
Pemeriksaan spirometri tidak saja penting untuk
menegakkan diagnosis tetapi juga penting untuk menilai berat obstruksi dan efek
pengobatan. Banyak penderita tanpa keluhan tetapi pemeriksaan spirometrinya
menunjukkan obstruksi.
G. Komplikasi
Berbagai
komplikasi yang mungkin timbul adalah :
1. Status
stridortikus
2. Atelektasis
3. Hipoksemia
4. Pneumothoraks
5. Emfisema
6. Deformitas
thoraks
7. Gagal nafas
H. Penatalaksanaan
Prinsip umum
pengobatan stridor bronchial adalah :
1.
Menghilangkan obstruksi jalan nafas dengan
segara.
2.
Mengenal
dan menghindari fakto-faktor yang dapat mencetuskan serangan stridor
3.
Memberikan
penerangan kepada penderita ataupun keluarganya mengenai penyakit
stridor, baik pengobatannya maupun tentang perjalanan penyakitnya sehingga
penderita mengerti tujuan penngobatan yang diberikan dan bekerjasama dengan
dokter atau perawat yang merawatnnya.
Pengobatan pada stridor bronkhial terbagi 2,
yaitu:
1. Pengobatan non farmakologik:
-
Memberikan
penyuluhan
-
Menghindari
faktor pencetus
-
Pemberian
cairan
-
Fisiotherapy
-
Beri
O2 bila perlu.
2. Pengobatan farmakologik :
Bronkodilator : obat yang melebarkan saluran nafas. Terbagi
dalam 2 golongan :
a. Simpatomimetik/
andrenergik (Adrenalin dan efedrin) Nama obat :
- Orsiprenalin (Alupent)
- Fenoterol (berotec)
- Terbutalin (bricstridor)
Obat-obat golongan simpatomimetik tersedia dalam
bentuk tablet, sirup, suntikan dan semprotan. Yang berupa semprotan: MDI
(Metered dose inhaler). Ada juga yang berbentuk bubuk halus yang dihirup
(Ventolin Diskhaler dan Bricstridor Turbuhaler) atau cairan broncodilator
(Alupent, Berotec, brivstridor serts Ventolin) yang oleh alat khusus diubah
menjadi aerosol (partikel-partikel yang sangat halus ) untuk selanjutnya
dihirup.
b. Santin
(teofilin)
Nama obat :
- Aminofilin (Amicam
supp)
- Aminofilin
(Euphilin Retard)
- Teofilin (Amilex)
Efek dari teofilin sama dengan obat golongan
simpatomimetik, tetapi cara kerjanya berbeda. Sehingga bila kedua obat ini
dikombinasikan efeknya saling memperkuat.
Cara pemakaian : Bentuk suntikan teofillin /
aminofilin dipakai pada serangan stridor akut, dan disuntikan perlahan-lahan
langsung ke pembuluh darah. Karena sering merangsang lambung bentuk tablet atau
sirupnya sebaiknya diminum sesudah makan. Itulah sebabnya penderita yang mempunyai
sakit lambung sebaiknya berhati-hati bila minum obat ini. Teofilin ada juga
dalam bentuk supositoria yang cara pemakaiannya dimasukkan ke dalam anus.
Supositoria ini digunakan jika penderita karena sesuatu hal tidak dapat minum
teofilin (misalnya muntah atau lambungnya kering).
Kromalin
Kromalin bukan bronkodilator tetapi merupakan obat
pencegah serangan stridor. Manfaatnya adalah untuk penderita stridor alergi
terutama anakanak. Kromalin biasanya
diberikan bersama-sama obat anti stridor yang lain, dan efeknya baru terlihat
setelah pemakaian satu bulan.
Ketolifen
Mempunyai efek
pencegahan terhadap stridor seperti kromalin. Biasanya diberikan dengan dosis dua kali 1mg / hari. Keuntungnan obat ini
adalah dapat diberika secara oral.
Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
Hal-hal yang
perlu dikaji pada pasien stridor adalah sebagai berikut:
1.
Riwayat
kesehatan yang lalu:
-
Kaji
riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya
-
Kaji
riwayat reaksi alergi atau sensitifitas terhadap zat/ faktor lingkungan.
-
Kaji
riwayat pekerjaan pasien.
2.
Aktivitas
- Ketidakmampuan melakukan aktivitas karena
sulit bernapas.
- Adanya penurunan kemampuan/peningkatan
kebutuhan bantuan melakukan
- aktivitas sehari-hari.
-
Tidur
dalam posisi duduk tinggi.
3.
Pernapasan
- Dipsnea pada saat istirahat atau respon
terhadap aktivitas atau latihan.
- Napas memburuk ketika pasien berbaring
terlentang ditempat tidur.
- Menggunakan obat bantu pernapasan,
misalnya: meninggikan bahu, melebarkan hidung.
-
Adanya
bunyi napas mengi, Adanya batuk berulang.
4.
Sirkulasi
- Adanya peningkatan tekanan darah.
- Adanya peningkatan frekuensi jantung.
- Warna kulit atau membran mukosa normal/
abu-abu/ sianosis,
-
Kemerahan
atau berkeringat
5.
Integritas
ego
Ansietas, Ketakutan, Peka rangsangan, Gelisah
6.
Asupan
nutrisi
-
Ketidakmampuan
untuk makan karena distress pernapasan.
-
Penurunan
berat badan karena anoreksia.
7.
Hubungan
sosal
-
Keterbatasan
mobilitas fisik.
-
Susah
bicara atau bicara terbata-bata.
-
Adanya
ketergantungan pada orang lain.
-
Seksualitas
B. Diagnosa dan Intervensi Keperawatan
1.
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas b/d spasme otot sal. pernafasan.
Tujuan : mempertahankan jalan nafas paten dengan
bunyi bersih dan jelas.
Intervensi :
a.
Auskultasi
bunyi nafas, catat adanya bunyi nafas, ex: mengi
R/ Beberapa derajat spasme bronkus terjadi dengan obstruksi
jalan nafas dan dapat/tidak dimanifestasikan adanya nafas advertisius.
b.
Kaji/pantau FRekuensi pernafasan, catat rasio inspirasi
/ekspirasi.
R/ Tachipnea biasanya ada pada
beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama stress/ adanya
proses infeksi akut.
c.
Catat
adanya derajat dispnea, ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ Disfungsi pernafasan adalah variable yang tergantung
pada tahap proses akut yang menimbulkan perawatan di rumah sakit.
d.
Tempatkan
posisi yang nyaman pada pasien, contoh : meninggikan kepala tempat tidur, duduk
pada sandara tempat tidur
R/ Peninggian kepala tempat tidur memudahkan fungsi
pernafasan dengan menggunakan gravitasi.
e.
Pertahankan
polusi lingkungan minimum, contoh: debu, asap dll
R/ Pencetus tipe alergi
pernafasan dapat mentriger episode akut.
f.
Tingkatkan
masukan cairan sampai dengan 3000 ml/ hari sesuai toleransi jantung, memberikan
air hangat.
R/ Hidrasi membantu menurunkan
kekentalan sekret, penggunaan cairan hangat apat menurunkan kekentalan sekret,
penggunaan cairan hangat dapat menurunkan
pasme bronkus.
g.
Kolaborasi
:Berikan obat sesuai dengan indikasi
bronkodilator.
R/ Bronkhodilator
membantu erelaksasikan otot halus dan menurunkan spasme jalan nafas, mengi, dan
puroduksi mukosa.
2.
Perubahan
nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d anoreksia
Tujuan : menunjukkan peningkatan berat badan
menuju tujuan yang tepat.
Intervensi :
a.
Kaji
kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kerusakan
makanan.
R/ Pasien distress pernafasan
akut sering anoreksia karena dipsnea.
b.
Sering
lakukan perawatan oral, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai.
R/ Rasa tak enak, bau
menurunkan nafsu makan dan dapat menyebabkan
mual/muntah dengan peningkatan kesulitan nafas.
c.
Berikan
oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
R/ Menurunkan
dipsnea dan meningkatkan energi untuk makan, meningkatkan masukan.
3.
Kerusakan
pertukaran gas b/d gangguan suplai oksigen
Tujuan : perbaikan ventilasi dan oksigen jaringan
edukuat.
Intervensi :
a.
Kaji/awasi
secara rutin kulit dan membrane mukosa.
R/ Sianosis mungkin perifer
atau sentral keabu-abuan dan sianosis sentral
mengindikasi kan beratnya hipoksemia.
b.
Palpasi
fremitus
R/ Penurunan getaran vibrasi diduga adanya pengumplan cairan/udara.
c.
Awasi
tanda vital dan irama jantung
R/ Tachicardi,
disritmia, dan perubahan tekanan darah dapat menunjukan efek hipoksemia
sistemik pada fungsi jantung.
d.
Berikan
oksigen tambahan sesuai dengan indikasi hasil AGDA dan toleransi pasien.
R/ Dapat
memperbaiki atau mencegah memburuknya hipoksia.
4.
Risiko
tinggi terhadap infeksi b/d tidak adekuat imunitas.
Tujuan :
Mengidentifikasikan intervensi untuk mencegah atau
menurunkan resiko infeksi.
Perubahan ola hidup untuk meningkatkan lingkungan
yang nyaman.
Intervensi :
a.
Awasi
suhu.
R/ Demam dapat terjadi karena infeksi dan atau dehidrasi.
b.
Diskusikan
kebutuhan nutrisi adekuat
R/ Malnutrisi dapat
mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahananterhadap infeksi
c.
Dapatkan
specimen sputum dengan batuk atau pengisapan untuk pewarnaan
gram,kultur/sensitifitas.
R/ Untuk
mengidentifikasi organisme penyabab dan kerentanan terhadap berbagai anti
microbial
5.
Kurang
pengetahuan b/d kurang informasi ;salah mengerti.
Tujuan : menyatakan pemahaman kondisi/proses penyakit
dan tindakan.
Intervensi :
a.
Jelaskan
tentang penyakit individu
R/ Menurunkan ansietas dan dapat menimbulkan perbaikan
partisipasi pada rencana pengobatan.
b.
Diskusikan
obat pernafasan, efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan.
R/ Penting bagi pasien
memahami perbedaan antara efek samping yang mengganggu dan merugikan.
c.
Tunjukkan
tehnik penggunaan inhaler.
R/ Pemberian
obat yang tepat meningkatkan keefektifanya.
DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddart (2002) “Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah”, Jakarta
: AGC.
Crockett, A. (1997)
“Penanganan Stridor dalam Penyakit Primer”, Jakarta : Hipocrates.
Doenges, M. E., Moorhouse, M. F. & Geissler, A. C. (2000)
“Rencana Asuhan Keperawatan”, Jakarta : EGC.
Guyton & Hall (1997) “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, Jakarta :
EGC.
Hudak & Gallo (1997)
“Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik”, Volume 1, Jakarta : EGC.
Price, S & Wilson, L. M. (1995) “Patofisiologi : Konsep Klinis
Proses-proses Penyakit”, Jakarta : EGC.
Reeves, C. J., Roux, G
& Lockhart, R. (1999) “Keperawatan Medikal Bedah”, Buku Satu, Jakarta :
Salemba Medika.
Staff Pengajar FK UI
(1997) “Ilmu Kesehatan Anak”, Jakarta : Info Medika.
Sundaru, H. (1995)
“Stridor ; Apa dan Bagaimana Pengobatannya”, Jakarta : FK UI.