GimoAdi.Blogg
Image by Cool Text: Free Logos and Buttons - Create An Image Just Like This

Cari Situs

Rabu, 21 Maret 2012

Pemberian Surfaktan pada Bayi dengan Respiratory Distress Syndrome (RDS)

BAB I
PENDAHULUAN

1.1     LATAR BELAKANG
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan. Penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah Respiratory Distress Syndrome ( RDS ). Sekitar 5 -10% didapatkan pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500 gram (Lemons et al,2001).
Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy & Freeman 2000). Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh neonatus.4,5 Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali oleh Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya RDS. Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satukemajuan di bidang kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangi konsentrasi oksigen yang tinggi. Hasil-hasil dari uji coba klinik penggunaan surfaktan buatan (Willkinson,1985),surfaktan dari cairan amnion manusia ( Merrit,1986), dan surfaktan dari sejenis lembu/bovine (Enhoring, 1985) dapat dipertanggungjawabkan dan dimungkinkan. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan RDS maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan.
Data yang diperoleh dari Ruang Perinatologi RSU Dr.H.Koesnadi Bondowoso pada bulan Juli 2011 terdapat 23 bayi prematur dengan RDS atau 30% dari jumlah bayi yang dirawat, dengan angka kematian sebanyak 7 bayi atau 23% dari jumlah bayi prematur. Sedangkan pada bulan Agustus 2011 kasus bayi prematur dengan RDS meningkat menjadi 29 bayi atau 36% dari jumlah bayi yang dirawat, dengan angka kematian sebanyak 10 bayi atau 34% dari jumlah bayi prematur. Penatalaksanaan kasus bayi prematur dengan RDS di Ruang Perinatal selama ini masih menggunakan upaya konfensional dalam bentuk penanganan airway,breathing,sirculation serta tindakan suportif seperti mengatasi asidosis,pemenuhan cairan dan nutrisi serta monitor tanda cardinal. Terapi surfaktan belum dapat dilakukan terkait dengan berbagai masalah seperti belum adanya kebijakan, ketidaktersediaan obat serta mahalnya harga obat yang diperlukan.


1.2     TUJUAN
a.    Tujuan Umum
Mengetahui tentang fisiologi bayi prematur dengan RDS (Respiratory Distress Syndrome) serta penatalaksanaan dengan pemberian surfaktan.
b.    Tujuan Khusus
-   Memahami tentang fisiologi bayi prematur.
-   Memahami tentang patofisiologi RDS (Respiratory Distress Syndrome) pada bayi prematur.
-   Memahami tentang pengertian surfaktan.
-   Memahami tentang fungsi surfaktan.
-   Memahami tentang dosis dan  cara pemberian surfaktan pada bayi prematur dengan RDS.

1.3     MANFAAT
a.    Untuk Mahasiswa
Meningkatkan hasanah pengetahuan tentang konsep bayi prematur dengan RDS (Respiratory Distress Syndrome), konsep tentang surfaktan serta terapi surfaktan terhadap bayi prematur dengan RDS.
b.    Untuk Lahan Praktik
Memberikan gambaran tentang salah satu tehnik penatalaksanaan gawat nafas pada bayi prematur dengan RDS yang secara teori dan berdasarkan hasil penelitian lebih memiliki hasil lebih baik dan efektif.
c.     Untuk Rumah Sakit
Dalam rangka mewujudkan pelayanan prima serta menurunkan angka kematian bayi prematur dengan RDS, maka RSU Dr.H.Koesnadi Bondowoso sebagai rumah sakit tipe-B dan sebagai rumah sakit rujukan di wilayah kabupaten Bondowoso dan sekitarnya, sudah selayaknya mulai mengembangkan pelayanan kesehatan sesuai perkembengan ilmu pengetahuan dan tehnologi, khususnya pada penaganan gawat pada nafas bayi prematur dengan RDS yang dirawat di Ruang Perinatologi (Paviliun Seruni).




BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1     BAYI PREMATUR
Bayi prematur adalah bayi yang dilahirkan dalam usia gestasi kurang dari 37 minggu. Secara fisiologis, kondisi bayi prematur adalah sebagian masih sebagai janin dan sebagai bayi baru lahir. Bayi pematur yang dilahirkan dalam usia gestasi <37 minggu mempunyai resiko tinggi terhadap pernyakit-penyakit yang berhubungan dengan prematuritas, antara lain sindroma gangguan pernafasan idiopatik (penyakit membran hialin), aspirasi pneumonia karena refleksi menelan dan batuk belum sempurna, perdarahan spontan dalam ventrikel otak lateral, akibat anoksia otak (erat kaitannya dengan gangguan pernafasan, hiperbilirubinemia, karena fungsi hati belum matang), hipotermia.

2.1.1     Komplikasi Bayi Prematur
Kebanyakan komplikasi yang terjadi pada bayi prematur adalah yang berhubungan dengan fungsi imatur dari sistem organ. Komplikasi-komplikasi yang bisa terjadi meliputi :
a.    Paru-paru
Produksi surfaktan seringkali tidak memadai guna mencegah alveolar collapse dan atelektasis, yang dapat terjadi Respitarory Distress Syndrome.
b.    SSP ( Susunan syaraf pusat)
Disebabkan tidak memadainya koordinasi refleks menghisap dan menelan, bayi yang lahir sebelum usia gestasi 34 minggu harus diberi makanan secara intravena atau melalui sonde lambung. Immaturitas pusat pernafasan di batang otak mengakibatkan apneic spells (apnea sentral).
c.     Infeksi
Sepsis atau meningitis kira-kira 4X lebih berisiko pada bayi prematur daripada bayi normal.
d.    Pengaturan suhu
Bayi prematur mempunyai luas permukaan tubuh yang besar dibanding rasio masa tubuh, oleh karena itu ketika terpapar dengan suhu lingkungan di bawah netral, dengan cepat akan kehilangan panas dan sulit untuk mempertahankan suhu tubuhnya karena efek shivering pada prematur tidak ada.
e.    Saluran pencernaan (Gastrointestinal tract)
Volume perut yang kecil dan reflek menghisap dan menelan yang masih immatur pada bayi prematur, pemberian makanan melalui nasogastrik tube dapat terjadi risiko aspirasi.
f.     Ginjal
Fungsi ginjal pada bayi prematur masih immatur, sehingga batas konsentrasi dan dilusi cairan urine kurang memadai seperti pada bayi normal.
g.    Hiperbilirubinemia
Pada bayi prematur bisa berkembang hiperbilirubinemia lebih sering daripada pada bayi aterm, dan kernicterus bisa terjadi pada level bilirubin serum paling sedikit 10mg/dl (170 umol/L) pada bayi kecil, bayi prematur yang sakit.
h.     Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan penyebab utama kerusakan otak pada periode perinatal. Kadar glukosa darah kurang dari 20 mg/100cc pada bayi kurang bulan atau bayi prematur dianggap menderita hipoglikemia.
i.      Mata
Retrolental fibroplasia, kelainan ini timbul sebagai akibat pemberian oksigen yang berlebihan pada bayi prematur yang umur kehamilannya kurang dari 34 minggu. Tekanan oksigen yang tinggi dalam arteri akan merusak pembuluh darah retina yang masih belum matang (immatur).

2.1.2     Mekanisme Imunologi Kelahiran Prematur
Telah disebutkan bahwa banyak faktor-faktor yang menyebabkan kelahiran prematur, yaitu : nutrisi yang buruk, pecandu alkohol, perokok, infeksi, ketuban pecah prematur, multipel gestasi, gangguan koagulasi, solusio plasenta. Faktor2 tersebut terjadi karena adanya inflamasi pada plasenta yang diinduksi oleh proinflamatory cytokines sehingga terjadi gangguan pada fetus yang disebabkan innate immune system. Suatu mekanisme imunologi yang menjaga agar fetus dalam keadaan aman adalah dengan meregulasi kadar cytokine pada plasenta. Beberapa literatur menyebutkan bahwa produksi proinflamatory cytokines yang berlebihan pada plasenta , seperti Interleukin (IL)-1ß , Tumor Necrosis Factor (TNF)-a , dan Interferon (IFN)-g sangat berbahaya pada kehamilan. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa IL-10 yang terdapat pada plasenta merupakan cytokine yang penting karena dapat menekan produksi proinflamatory cytokines yang diproduksi sel lain.
Imunomodulator yang berperan pada pertahanan fetus adalah progesteron yang terdapat pada plasenta dengan cara menghambat mitogen-stimulated lymphocyte proliferation , meningkatkan survival time, mengatur produksi antibodi, menurunkan produksi monosit yang berlebihan, mengurangi produksi proinflamatory cytokines oleh makrofag yang merupakan hasil produksi bakteri dan perubahan sekresi cytokines dari T-cell ke IL-10. Mekanisme tentang peran progesteron sebagai imunomodulator pada jaringan reproduksi masih belum jelas tapi terlibat secara langsung dan tidak langsung pada proses immune cell.
Gambar.1. Alur biokimia terjadinya kelahiran prematur. ( Dikutip dari Peltier.RM. Immunology of term and preterm labor. In: Reproductive Biology and Endocrinology 2003)

2.1.3     Perkembangan Paru Normal
Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap (tabel 1). Selama tahap awal embryonik paru2 berkembang diluar dinding ventral dari primitive foregut endoderm. Sel epithel dari foregut endoderm bergerak di sekitar mesoderm yang merupakan struktur teratas dari saluran napas.
Tabel 1. Tahap pertumbuhan paru
Tahap
Waktu (minggu)
Embryonic
Canalicular
Pseudoglandular
Saccular
Alveolar
Postnatal growth
3 - 7
7-16
16-26
26-36
36 weeks-2 years
2 - 18 tahun
(Dikutip dari : Kotecha.S. Lung growth: implications for the newborn infant. Arch Dis Child Fetal Neonatal Ed. 2000).

Selama tahap canalicular yang terjadi antara 16 dan 26 minggu di uterus, terjadi perkembangan lanjut dari saluran napas bagian bawah dan terjadi pembentukan acini primer. Struktur acinar terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli rudimenter. Perkembangan intracinar capillaries yang berada disekeliling mesenchyme, bergabung dengan perkembangan acinus. Lamellar bodies mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam pneumocyte type II ,dapat ditemui dalam acinar tubulus pada stadium ini. Perbedaan antara pneumocyte tipe I terjadi bersama dengan barier alveolar-capillary.
Fase saccular dimulai dengan ditandai adanya pelebaran jalan napas perifer yang merupakan dilatasi tubulus acinar dan penebalan dinding yang menghasilkan peningkatan pertukaran gas pada area permukaan. Lamellar bodies pada sel type II meningkat dan maturasi lebih lanjut terjadi dalam sel tipe I. Kapiler-kapiler sangat berhubungan dengan sel tipe I , sehingga akan terjadi penurunan jarak antara permukaan darah dan udara Selama tahap alveolar dibentuk septa alveolar sekunder yang terjadi dari gestasi 36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir.
Septa sekunder terdiri dari penonjolan jaringan penghubung dan double capillary loop. Terjadi perubahan bentuk dan maturasi alveoli yang ditandai dengan penebalan dinding alveoli dan dengan cara apoptosis mengubah bentuk dari double capillary loop menjadi single capillary loop . Selama fase ini terjadi proliferasi pada semua tipe sel . Sel-sel mesenchym berproliferasi dan menyimpan matrix ekstraseluler yang diperlukan. Sel-sel epithel khususnya pneumocytes tipe I dan II, jumlahnya meningkat pada dinding alveoli dan sel-sel endothel tumbuh dengan cepat dalam septa sekunder dengan cara pembentukan berulang secara berkelanjutan dari double capillary loop menjadi single capillary loop. Perkiraan jumlah alveolus pada saat lahir dengan menggunakan rentang antara 20 juta – 50 juta sudah mencukupi. Pada dewasa jumlahnya akan bertambah sampai sekitar 300 juta.

2.1.4     Tes Kematangan Paru
Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin adalah Tes Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan biofisika.18,19
a.       Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan amnion.
Tes ini pertamakali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun 1971, merupakan salah satu test yang sering digunakan dan sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio Lesithin dibandingkan Sfingomyelin ditentukan dengan thinlayer chromatography (TLC). Cairan amnion disentrifus dan dipisahkan dengan pelarut organik, ditentukan dengan chromatography dua dimensi; titik lipid dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur atau kontak dengan uap iodine. Kemudian dihitung rasio lesithin dibandingkan sfingomyelin dengan menentukan fosfor organik dari lesithin dan sfingomyelin. Sfingomyelin merupakan suatu membran lipid yang secara relatif merupakan komponen non spesifik dari cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan normal adalah < 0,5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat secara bertahap pada level 1 pada usia gestasi 32 minggu. Rasio L/S = 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila rasio L/S > 2. Beberapa penulis telah melakukan pemeriksaan rasio L/S dengan hasil yang sama. Suatu studi yang bertujuan untuk mengevaluasi harga absolut rasio L/S bayi immatur dapat memprediksi perjalanan klinis dari neonatus tersebut dimana rasio L/S merupakan prediktor untuk kebutuhan dan lamanya pemberian bantuan pernapasan. Dengan melihat umur gestasi, ada korelasi terbalik yang signifikan antara rasio L/S dan lamanya hari pemberian bantuan pernapasan. Adanya mekonium dapat mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang dilakukan telah menemukan bahwa mekonium tidak mengandung lesithin atau sfingomyelin, tetapi mengandung suatu bahan yang tak teridentifikasi yang susunannya mirip lesithin, sehingga hasil rasio L/S meningkat palsu.
b.      Test Biofisika :
1)      Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun 1972. Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil . Dengan mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol akan terjadi hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas. Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion dalam saline dengan 1 ml ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali (cairan amnion : ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin. Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang tepat dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS.
2)      TDX- Maturasi paru janin (FLM II) tes lainnya yang berdasarkan prinsip tehnologi polarisasi fluoresen dengan menggunakan viscosimeter, yang mengukur mikroviskositas dari agregasi lipid dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio surfaktan-albumin. Tes ini memanfaatkan ikatan kompetitif fluoresen pada albumin dan surfaktan dalam cairan amnion. Bila lompatan fluoresen kearah albumin maka jaring polarisasi nilainya tinggi, tetapi bila mengarah ke surfaktan maka nilainya rendah. Dalam cairan amnion, polarisasi fluoresen mengukur analisa pantulan secara otomatis rasio antara surfaktan dan albumin, yang mana hasilnya berhubungan dengan maturasi paru janin. Menurut referensi yang digunakan oleh Brigham and Women’s Hospital, dikatakan immatur bila rasio < 40 mg/dl; intermediet 40-59 mg/dl; dan matur bila lebih atau sama dengan 60 mg/dl. Bila terkontaminasi dengan darah atau mekonium dapat menggangu interpretasi hasil test.

2.2     RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila didapatkan sesak napas berat (dyspnea ), frekuensi napas meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya hyaline membran pada saat otopsi.Sedangkan menurut Murray et.al (1988) disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru secara langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non pulmonar.Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila onset akut, ada infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal = 18mmHg dan tidak ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS .
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria. Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur, yang disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang danberisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan bertambah berat.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea (> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
Stadium 1  :   Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram udara,
Stadium 2  : Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan aerasi paru.
Stadium 3  :  Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak terlihat, bronchogram udara lebih luas.
Stadium 4  :  Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak dapat dilihat.

2.2.1     Patofisiologi Respiratory Distress Syndrome
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang, pengembangan kurang sempurna karena dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang.
Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan toksisitas oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36-72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia (BPD). Gambaran radiologi tampak adanya retikulogranular karena atelektasis,dan air bronchogram.
Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah :
- Takipnea diatas 60x/menit
- Grunting ekspiratoar
- Subcostal dan interkostal retraksi
- Cyanosis
- Nasal flaring
Pada bayi extremely premature ( berat badan lahir sangat rendah ) mungkin dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru pada umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24 jam maka akan membaik dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada akhir minggu pertama.

2.2.2     Komplikasi
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
a.       Ruptur alveoli : Bila dicurigai terjadi kebocoran udara (pneumothorak, pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ), pada bayi dengan RDS yang tiba-tiba memburuk dengan gejala klinis hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang menetap.
b.      Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
c.       Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular : perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi mekanik.
d.      PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan terapi surfaktannya.

Komplikasi jangka panjang dapat disebabkan oleh toksisitas oksigen, tekanan yang tinggi dalam paru, memberatnya penyakit dan kurangnya oksigen yang menuju ke otak dan organ lain.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
a.       Bronchopulmonary Dysplasia (BPD): merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
b.      Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

2.3     SURFAKTAN
Suatu bahan senyawa kimia yang memiliki sifat permukaan aktif. Surfaktan pada paru manusia merupakan senyawa lipoprotein dengan komposisi yang kompleks dengan variasi berbeda sedikit diantara spesies mamalia. Senyawa ini terdiri dari fosfolipid (hampir 90% bagian), berupa Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC) yang juga disebut lesitin, dan protein surfaktan sebagai SPA, SPB, SPC dan SPD (10% bagian). DPPC murni tidak dapat bekerja dengan baik sebagai surfaktan pada suhu normal badan 37°C, diperlukan fosfolipid lain (mis. fosfatidilgliserol) dan juga memerlukan protein surfaktan untuk mencapai air liquid-interface dan untuk penyebarannya keseluruh permukaan.
Surfaktan dibuat oleh sel alveolus tipe II yang mulai tumbuh pada gestasi 22-24 minggu dan mulai mengeluarkan keaktifan pada gestasi 24-26 minggu,yang mulai berfungsi pada masa gestasi 32-36 minggu. Produksi surfaktan pada janin dikontrol oleh kortisol melalui reseptor kortisol yang terdapat pada sel alveolus type II. Produksi surfaktan dapat dipercepat lebih dini dengan meningkatnya pengeluaran kortisol janin yang disebabkan oleh stres, atau oleh pengobatan deksamethason yang diberikan pada ibu yang diduga akan melahirkan bayi dengan defisiensi surfaktan. Karena paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara menghitung rasio lesitin/sfingomielin dari cairan amnion. Sfingomielin adalah fosfolipid yang berasal dari jaringan tubuh lainnya kecuali paru-paru. Jumlah lesitin meningkat dengan bertambahnya gestasi, sedangkan sfingomielin jumlahnya menetap. Rasio L/S biasanya 1:1 pada gestasi 31-32 minggu, dan menjadi 2:1 pada gestasi 35 minggu. Rasio L/S 2:1 atau lebih dianggap fungsi paru telah matang sempurna, rasio sejumlah 50% akan menjadi RDS, dan rasio kurang dari 1,5 sejumlah 73% akan menjadi RDS. Bila radius alveolus mengecil, surfaktan yang memiliki sifat permukaan alveolus, dengan demikian mencegah kolapsnya alveolus pada waktu ekspirasi. Kurangnya surfaktan adalah penyebab terjadinya atelektasis secara progresif dan menyebabkan meningkatnya distres pernafasan pada 24-48 jam pasca lahir.

2.3.1     Fungsi Surfaktan
Pada tahun 1929 Von Neegard menyatakan bahwa tegangan permukaan paru lebih rendah dari cairan biologi normal karena menemukan adanya perbedaan elastisitas pada paru-paru yang terisi udara dan terisi larutan garam ( saline ). Disebutkan juga bahwa tegangan permukaan adalah lebih penting dari kekuatan elastisitas jaringan untuk kekuatan penarikan paru pada saat mengembang. Tegangan permukaan antara air-udara alveoli memberikan kekuatan penarikan melawan pengembangan paru.
Hukum Laplace menyatakan bahwa perbedaan tekanan antara ruang udara dan lapisan (D P) tergantung hanya pada tegangan permukaan (T) dan jarak dari alveoli (D P = 2T /r). Kekuatan sebesar 70 dynes/cm2menghasilkan hubungan antara cairan – udara dalam alveoli dan dengan cepat akan menyebabkan kolapsnya alveoli dan kegagalan nafas jika tidak berlawanan. Pada tahun 1950, Clements dan Pattle secara independen mendemonstrasikan adanya ekstrak paru yang dapat menurunkan atau mengurangi tegangan permukaan fosfolipid paru. Beberapa tahun berikutnya yaitu pada tahun 1959 Avery dan Mead menyatakan bahwa RDS pada bayi prematur disebabkan adanya defisiensi bahan aktif permukaan paru yang disebut surfaktan paru.
Surfaktan merupakan suatu komplek material yang menutupi permukaan alveoli paru, yang mengandung lapisan fosfolipid heterogen dan menghasilkan selaput fosfolipid cair, yang dapat menurunkan tegangan permukaan antara air-udara dengan harga mendekati nol, memastikan bahwa ruang alveoli tetap terbuka selama siklus respirasi dan mempertahankan volume residual paru pada saat akhir ekspirasi. Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa jaringan aliran cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial. Kebocoran surfaktan menyebabkan akumulasi cairan ke dalam ruang alveoli. Surfaktan juga berperan dalam meningkatkan klirens mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate dari paru. Setelah beberapa percobaan dengan pemberian surfaktan aerosol pada bayi-bayi RDS tidak berhasil , dilakukan percobaan pemberian surfaktan secara intratrakeal pada bayi hewan prematur. Pada tahun 1980 Fujiwara dkk melakukan uji klinik pemberian preparat surfaktan dari ekstrak paru sapi (Surfaktan TA) pada 10 bayi dengan RDS berat.
Penelitian secara randomized controlled trials dengan sampel kecil pada tahun 1985 dengan memberikan preparat surfaktan dari lavas alveoli sapi atau cairan amnion manusia memberikan hasil yang signifikan terhadap penurunan angka kejadian pneumothorax dan angka kematian . Penelitian-penelitian yang dilakukan di berbagai pusat penelitian pada tahun 1989 menyatakan tentang keberhasilan tentang menurunnya angka kematian dan komplikasi dari RDS di Amerika. Pada tahun 1990 telah disetujui penggunaan surfaktan sintetik untuk terapi RDS di amerika, dan tahun 1991 disetujui penggunaan terapi surfaktan dari binatang.

2.3.2     Komposisi Surfaktan Paru
Surfaktan paru merupakan komplek lipoprotein yang disintesa dan disekresi oleh sel alveolar tipe II dan Clara sel di saluran napas pada lapisan epithel. Surfaktan paru merupakan senyawa komplek yang komposisinya hampir 90% adalah lipid dan 10% protein. Secara keseluruhan komposisi lipid dan fosfolipid dari surfaktan diisolasi dari bermacam-macam spesies binatang yang komposisinya hampir sama. Pada manusia phosphatidylcholine mengandung hampir 80% total lipid, yang separuhnya adalah dipalmitoyl phosphatidylcholine (DPPC), 8% lipid netral, dan 12% protein dimana sekitar separuhnya merupakan protein spesifik surfaktan dan sisanya protein dari plasma atau jaringan paru. Fosfolipid surfaktan terdiri dari 60% campuran saturated phosphatidylcholine yang 80% mengandung dipalmitoylphosphatidylcholine, 25% campuran unsaturated phosphatidylcholine, dan 15% phosphatidylglycerol dan phosphatidylinositol dan sejumlah kecil phosphatidylserine, phosphatidylethanolamine ,sphingomyeline, dan glycolipid.(dikutip dari Dobbs, 1989; Van Golde, 1988; Wright and Clements, 1987).
Fosfolipid saturasi ini merupakan komponen penting untuk menurunkan tegangan permukaan antara udara dan cairan pada alveolus untuk mencegah kolaps saluran napas pada waktu ekspirasi. Pada tahun 1973 menurut King dkk,dan Possmayer, 1988 terdapat 4 macam protein spesifik surfaktan dengan struktur dan fungsi yang berbeda. Keempat macam protein tersebut adalah SP-A, SP-B, SP-C dan SP-D. Protein tersebut didapat dari cairan lavage bronkoalveoli ( BALF) dan dengan tehnik ultrasentrifugasi serta pemberian pelarut organik kaya lemak, dapat dipisahkan dan dibedakan menjadi dua golongan yaitu hydrofobik dengan berat molekul rendah SPB dan SP-C, sedangkan SP-A dan SP-D merupakan hidrofilik dengan berat molekul tinggi.

2.3.3     Sintesa dan Sekresi Surfaktan
Surfaktan paru disintesa dalam sel alveoli type II, satu dari dua sel yang ada dalam epithel alveoli. Surfaktan fosfolipid terbugkus dengan surfaktan protein B dan C dalam lamelar bodies yang disekresi dalam rongga udara dengan cara eksositosis ( gambar 1 ). Secara ekstraseluler, fosfolipid dan lamelar bodies berinteraksi dengan SP-A dan kalsium untuk membentuk tubular myelin yang merupakan bentukan suatu bahan kaya lemak dari lapisan tipis fosfolipid yang terdiri dari lapisan tunggal dan lapisan ganda yang dihasilkan antara permukaan udaraair. Lapisan tipis monomolekuler menurunkan kekuatan tegangan permukaan yang cenderung mambuat kolapnya paru. Dalam kondisi normal, sebagian besar surfaktan berada dalam rongga alveoli yang merupakan bentuk fungsional aktif dalam jumlah besar ( large aggregates (LA), dengan sisa yang ditemukan dalam bentuk kantong surfaktan kecil atau dalam jumlah kecil (small aggregrates (LA) yang mengandung bahan degradasi. Surfaktan dibersihkan dengan pengambilan kembali oleh sel type II, kemudian keduanya akan mengalami degradasi oleh marofag alveoli dan sebagian kecil berada dalam saluran pernapasan dan melintasi barier epithelendothel. Lebih dari 40 tahun yang lalu, banyak penelitian yang dilakukan untuk mengenali peranan surfaktan dalam menurunkan tegangan permukaan antara udara-cairan dan perjalanan penyakit RDS pada bayi prematur. Gejala defisiensi surfaktan ditandai adanya atelektasis, kolaps alveoli, dan hipoksemia.
Pemberian secara intratrakeal surfaktan eksogen yang merupakan campuran SP-B, SP-C, dan fosfolipid merupakan kriteria standard untuk terapi bayi dengan RDS . Campuran surfaktan ini bekerja dengan cepat untuk meningkatkan pengembangan dan volume paru, dengan hasil menurunnya kebutuhan oksigen dan ventilasi tekanan positip. Keefektifan terapi surfaktan kemungkinan disebabkan karena menurunnya tegangan permukaan dan pengambilan kembali partikel surfaktan dari epitel saluran napas. Penggunaan terapi surfaktan dalam jangka panjang dapat menurunkan angka kesakitan dan angka kematian tetapi kurang signifikan untuk barotrauma dan penyakit paru kronik.

2.3.4     Jenis Surfaktan
Terdapat 2 jenis surfaktan , yaitu :
a.       Surfaktan natural atau asli, yang berasal dari manusia, didapatkan dari cairan amnion sewaktu seksio sesar dari ibu dengan kehamilan cukup bulan.
b.      Surfaktan eksogen barasal dari sintetik dan biologik
-   Surfaktan eksogen sintetik terdiri dari campuran Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol, dan tyloxapol yaitu Exosurf dan Pulmactant ( ALEC ) dibuat dari DPPC 70% dan Phosphatidylglycerol 30%, kedua surfaktan tersebut tidak lama di pasarkan di amerika dan eropa.2,5 Ada 2 jenis surfaktan sintetis yang sedang dikembangkan yaitu KL4 (sinapultide) dan rSPC ( Venticute), belum pernah ada penelitian tentang keduanya untuk digunakan pada bayi prematur.
-   Surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari campuran surfaktan paru anak sapi dengan dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), tripalmitin, dan palmitic misalnya Surfactant TA, Survanta.
-   Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru anak sapi atau babi, misalnya Infasurf, Alveofact, BLES, sedangkan yang diambil dari paru babi adalah Curosurf
Saat ini ada 2 jenis surfaktan di indonesia yaitu :
-        Exosurf neonatal yang dibuat secara sintetik dari DPPC , hexadecanol, dan tyloxapol.
-        Surfanta dibuat dari paru anak sapi, dan mengandung protein, kelebihan surfanta biologi dibanding sintetik terletak di protein.

2.4     Pemberian Surfaktan Pada Bayi Prematur Dengan Respiratory Distress Syndrome
Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal dari hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di bidang genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif surfaktan sintetik.
Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus dengan RDS sejak awal tahun 1990 (Halliday,1997), dan merupakan campuran antara fosfolipid, lipid netral, dan protein yang berfungsi menurunkan tegangan permukaan pada air-tissue interface . Semua surfaktan derifat binatang mengalami berbagai proses untuk mengeluarkan SP-A dan SP-D, menurunkan SP-B dan SP-C, dan merubah fosfolipid sehingga berbeda dengan surfaktan binatang (Bernhard et al, 2000).
Human surfaktan dibuat dari 100ml cairan amnion yang bersih (tidak mengandung mekonium dan darah) yang diambil pada proses sectio sesar dan dapat menghasilkan 1 gram surfaktan (Robertson,1987). Karena proses pembuatannya yang sulit dan adanya resiko blood borne viruses maka penggunaanya sangat terbatas.Hasil dari studi meta analisis dengan Randomised Control Trial (Soll,2003) menunjukkan bahwa hampir 40% menurunkan angka kematian dan 30-70% menurunkan insiden pneumothorax pada RDS , akan tetapi surfaktan yang diberikan pada komplikasi prematur ( chronic lung disease, patent ductus arteriosus, retinopathy premature ) memberikan efek yang tidak memuaskan.
Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan tegangan permukaan, terutama terdapat pada surfaktan kombinasi protein, dapat menurunkan pemakaian kebutuhan oksigen dan ventilator dengan cepat. Pada suatu studi meta analisis yang membandingkan antara penggunaan surfaktan derifat binatang dengan surfaktan sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang terdaftar dalam 16 penelitian random, 11 penelitian memberikan hasil yang signifikan bahwa surfaktan derifat binatang lebih banyak menurunkan angka kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan sintetik bebas protein (Soll and Blanco, 2003).
Golongan derifat binatang yang sering digunakan pada meta-analisis adalah Survanta. Beberapa studi membandingkan efektifitas antara surfaktan derifat binatang, dan yang sering dibandingkan pada golongan ini adalah Survanta dan Curosurf . Penelitian di Inggris oleh Speer dkk (1995) yang membandingkan terapi Survanta dosis 100 mg/kg dan Curosurf dosis 200 mg/kg, pada bayi dengan RDS yang diberi terapi Curosurf 200 mg/kg memberikan hasil perbaikan gas darah dalam waktu 24 jam. Penelitian lain oleh Ramanathan dkk (2000) dengan dosis Curosurf 100 mg/kg dan 200 mg/kg dibandingkan dengan Survanta dosis 100mg/kg dengan parameter perbaikan gas darah menghasilkan perbaikan yang lebih baik dan cepat pada terapi Corosurf dengan kedua dosis tersebut, tetapi pada penelitian ini tidak didapatkan data yang lengkap pada jurnalnya. Data tentang penggunaan terapi surfaktan sintetik masih terbatas. Pada penelitian pendahuluan yang dilakukan Sinha dkk,2003 secara randomised trial antara Surfaxin dan Curosurf menunjukkan rata-rata angka kesakitan dan kematian yang sama diantara kedua obat tersebut, akan tetapi penelitian ini banyak dikritik sehingga dihentikan lebih awal oleh Badan Penelitian setelah lama mendapatkan pasien dan sampai saat ini studi tentang kedua obat tersebut masih kesulitan memperoleh pasien.

2.4.1     Dosis dan Cara Pemberian Surfaktan
Dosis yang digunakan bervariasi antara 100mg/kg sampai 200mg/kg. Dengan dosis 100mg/kg sudah dapat memberikan oksigenasi dan ventilasi yang baik, dan menurunkan angka kematian neonatus dibandingkan dosis kecil, tapi dosis yang lebih besar dari 100mg/kg tidak memberikan keuntungan tambahan. Membaiknya oksigenasi dan ventilasi lebih cepat dengan dosis 200mg/kg dibandingkan dosis 100mg/kg,tetapi pada penelitian yang dilakukan pada babi dengan RDS berhubungan dengan meningkatnya perubahan aliran sistemik dan aliran darah ke otak ( dikutip dari Moen,dkk 1998 ).
Saat ini dosis optimum surfaktan yang digunakan adalah 100mg/kg. Sampai saat ini surfaktan diberikan secara injeksi bolus intratrakeal, karena diharapkan dapat menyebarkan sampai saluran napas bagian bawah. Penyebaran surfaktan kurang baik pada lobus bawah sehingga dapat menyebabkan penyebaran yang kurang homogen (Oetomo,dkk 1990). Dengan pemberian secara bolus dapat mempengaruhi tekanan darah pulmonar dan sistemik secara fluktuatif (Wagner,dkk 1996). Pemberian secara perlahan-lahan dapat mengurangi hal tersebut tapi dapat menyebabkan inhomogen yang lebih besar dan memberikan respon yang kurang baik (Segerer,dkk 1996).
Menurut Henry,dkk 1996 pemberian surfaktan secara nebulasi mempunyai beberapa efek samping pada jantung dan pernapasan tetapi kurang dari 15% dosis ini akan sampai ke paru-paru. Berggren,dkk 2000 mengatakan bahwa pemberian secara nebulasi pada neonatus kurang bermanfaat. Cosmi,dkk 1997 mengusulkan pemberian secara intra amnion akan tetapi tehnik tersebut sulit karena harus memasukkan catheter pada nares anterior fetus dengan bantuan USG dan penggunaan aminophilline pada ibu hamil tidak dianjurkan. Pemberian secara injeksi bolus merupakan methode yang optimal, beberapa kelompok melakukan studi tentang variasi dari methode ini. Zola,dkk 1993 menyatakan bahwa pemberian survanta 2ml/kg sebanyak dua kali menyebabkan terjadinya reflux up endotracheal tube dibandingkan pemberian 1ml/kg sebanyak empat kali tapi pemberiannya membutuhkan waktu yang lebih lama. Menurut Valls Soler dkk,1997 pemberian surfaktan via lubang samping endotracheal tube tidak menurunkan kejadian bradikardi dan atau hipoksia, tapi menurut Valls-i-Soller dkk,1998 kedua lubang endotrakeal tube dapat digunakan. Perbaikan oksigenasi yang cepat karena pengaktifan alveoli dan peningkatan functional residual capacity (FRC). Menurut Vender dkk, 1994 continuous capacity airway pressure (CPAP) juga meningkatkan FRC dan penggunaan lebih awal dengan atau tanpa surfaktan menurunkan kebutuhan pemakaian ventilasi selanjutnya.
Percobaan awal yang dilakukan oleh Ten Centre Study Group,1987 dengan variasi dosis interval 1 jam, sedangkan dosis interval 12 jam telah dilakukan oleh Speer,dkk 1992 dan dengan kriteria apakah bayi tetap memakai ventilasi dengan oksigen sesuai dengan kebutuhannya untuk memutuskan apakah bayi tersebut akan menerima dosis tambahan. Meskipun jadwal pemberian dosis ditingkatkan, beberapa surfaktan eksogen memakai interfal dosis setiap 12 jam. Perbaikan klinis tergantung dari dosis terapi masing-masing individu, dimana menurut Kattwinkel,dkk 2000 menyatakan bahwa bayi dengan ventilasi ringan dan RDS tanpa komplikasi diberikan terapi tanpa menggunakan dosis tambahan, sedangkan Figueras Aloy, dkk 2001 menyatakan bahwa pada kasus yang berat, perbaikan klinis tergantung pada dosis tambahan yang diberikan sejak awal.
 Surfaktan eksogen mempunyai dosis dengan variasi volume yang berbeda, Curosurf dengan dosis 100 mg/kg volumenya 1,25 ml sedangkan survanta dengan dosis 100 mg/kg dengan volume 4 ml. Dalam praktek,Curosurf lebih mudah diberikan sedangkan Survanta diberikan dengan dosis terbagi. Menurut van der Bleek dkk, 1993 bahwa volume yang besar penyebarannya lebih homogen. Surfaktan diberikan secara intratrakeal melalui endotrakeal tube (ETT) dengan bantuan NG tube. Cateter (NG tube) dapat dimasukkan tanpa melepas ventilator dengan melalui lubang penghisap sekret pada ETT. Sebagai alternatif, NGT dapat dimasukkan dengan terlebih dahulu melepas dengan cepat sambugan antara ETT dengan slang ventilator.
Dosis diberikan secara terbagi menjadi 4 dosis supaya pemberiannya homogen sampai ke lobus paru bagian bawah. Setiap seperempat dosis diberikan dengan posisi yang berbeda. Sebelum surfaktan dimasukkan ke dalam ETT melalui NGT pastikan bahwa ETT berada pada posisi yang benar dan ventilator di atur pada kecepatan 60x/menit, waktu inspirasi 0,5 detik, dan FiO21,0. ETT dilepaskan dari ventilator dan kemudian :
a.       Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah kepala menoleh ke kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis pertama melalui NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
b.      Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke bawah kepala menoleh ke kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis kedua melalui NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
c.       Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas kepala menoleh ke kanan, masukkan surfaktan seperempat dosis ketiga melalui NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT dan lakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik,
d.      Kepala dan badan bayi dimiringkan 5°-10° ke atas kepala menoleh ke kiri, masukkan surfaktan seperempat dosis keempat melalui NGT selama 2-3 detik setelah itu lepaskan NGT danlakukan ventilasi manual untuk mencegah sianosis selama 30 detik.
DOSIS SURFAKTAN
Berat Badan (gram)
Dosis Total (ml)
Berat Badan (gram)
Dosis Total (ml)
600-650
661-700
701-750
751-800
801-850
851-900
901-950
951-1000
1001-1050
1051-1100
1101-1150
1151-1200
1201-1250
1251-1300
2,6
2,8
3,0
3,2
3,4
3,6
3,8
4,0
4,2
4,4
4,6
4,8
5,0
5,2
1301-1350
1351-1400
1401-1450
1451-1500
1501-1550
1551-1600
1601-1650
1651-1700
1701-1750
1751-1800
1801-1850
1851-1900
1901-1950
1951-2000
5,4
5,6
5,8
6,0
6,2
6,4
6,6
6,8
7,0
7,2
7,4
7,6
7,8
8,0




Pemberian dosis dapat diulang sebanyak 4x dengan interval 6 jam dan diberikandalam 48 jam pertama setelah lahir.

2.4.2     Profilaksis surfaktan dan terapi
Berdasarkan penelitian,surfaktan merupakan terapi yang penting dalam menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress Syndrome . Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian profilaksis berhubungan dengan epithell paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi. Hal ini menyebabkan kebocoran protein pada permukaan sehingga mengganggu fungsi surfaktan. Beberap penelitian dengan binatang menyebutkan bahwa terapi surfaktan yang diberikan segera setelah lahir akan menurunkan derajat beratnya RDS dan kerusakan jalan napas, meningkatkan gas darah, fungsi paru dan kelangsungan hidup. Beberapa percoban klinik menunjukkan bahwa terapi surfaktan untuk bayi prematur sangat bermanfaat dan aman. Sepuluh pusat penelitian dari ALEC menggunakan surfaktan sebagai terapi profilaksis, dan disebutkan terjadi penurunan insiden RDS sebanyak 30% dibandingkan kontrol dan menurunkan angka kematian sebasar 48% tanpa efek samping.
Tidak mungkin bisa memprediksi bayi prematur yang akan terkena RDS atau tidak sehingga sejauh ini terapi surfaktan masih sangat bermanfaat. Rendahnya masa gestasi merupakan penyebab meningkatnya RDS, tetapi pada bayi dengan masa gestasi yang lebih tua dapat juga beresiko terkena RDS dan komplikasinya. Beberapa alasan yang dikemukakan tentang tidak diberikannya surfaktan pada saat bayi prematur lahir (sebagai profilaksis) karena dianggap memberikan surfaktan yang tidak perlu pada beberapa bayi yang tidak terkena RDS , disamping itu harganya mahal sehingga sebaiknya digunakan bila memang benar diperlukan. Beberapa uji coba klinik menyatakan bahwa pemberian surfaktan dini mungkin dapat membahayakan sehingga hanya diberikan pada RDS yang berat. Ada juga yang berpendapat bahwa pemberian surfaktan segera setelah bayi prematur lahirdapat mempengaruhi resusitasi dan stabilisasi bayi. Bila pemberian surfaktan sama efektifnya jika diberikan beberapa jam setelah lahir, maka pemberian surfaktan dini yaitu segera setelah lahir menjadi tidak relevan.
Cochrane meta analysis ( Soll and Morley, 2003 ) menyatakan bahwa yang disebut terapi profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertamapada bayi prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube. Sedangkan sebagaiterapi bila surfaktan diberikan beberapa jam setelah lahir atau setelah ada gejala RDS . Pemberian surfaktan profilaksis dapat menurunkan angka kematian, dan pneumothorax tetapi mempunyai efek yang ringan pada komplikasi yang lain pada bayi prematur. Yost dan Soll, 2003 menyatakan bahwa ada data yang menunjang tentang pemberian awal (profilaksis) lebih baik daripada pemberian yang lebih lambat. Beberapa uji klinik memberikan informasi yang berbeda tentang pengaruh pemberian dua surfaktan dalam hal oksigenasi, ventilasi, dan beratnya gejala RDS. Semua uji coba menunjukkan perbaikan dalam pertukaran gas, dan beratnya RDS dengan menggunakan surfaktan profilaksis. Dunn dkk, menyebutkan bahwa terjadi perbaikan yang signifikan dalam pertukaran gas pada kelompok terapi profilaksis dalam 24-48 jam dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kendig dkk, menyatakan bahwa bayi yang diberi terapi profilaksis membutuhkan tambahan oksigen yang lebih rendah dan bantuan ventilasi dalam 72 jam pertama serta didapatkan RDS yang tidak berat. Egberts dkk, menyatakan bahwa terapi surfaktan pada saat lahir berhubungan dengan oksigenasi yang baik dalam 6 jam, meningkatnya tcPO2 : FIO2 dari rasio 39,7 ke 28,1 dan 41% membaik pada kelompok dengan terapi dini. Kelompok terapi profilaksis menerima oksigen > 40% dalam jangka pendek. Ada penurunan insiden dari RDS berat. Kattwinkel dkk, menunjukkan bahwa surfaktan profilaksis berhubungan dengan rendahnya angka kejadian RDS sedang, terutama pada bayi dengan masa gestasi kurang dari 30 minggu. Disamping itu dapat menurunkan pemakaian oksigen dan ventilasi yang cenderung berlebihan pada beberapa hari pertama setelah lahir, menurunkan tekanan jalan napas rata-rata lebih dari 48 jam pertama untuk bayi dengan ventilasi dan beberapa bayi membutuhkan tambahan oksigen sampai 28 hari. Walti dkk, menyatakan bahwa dalam 3-72 jam setelah lahir, kelompok profilaksis mempunyai pH tinggi, dan rasio PaO2: FIO2 serta rasio a: ApO2 tinggi dan menurunnya FIO2, begitu juga dengan frekuensi pernapasan, peak inspiratory pressure, dan mean airway pressure.
Menurut Bevilacqua dkk, FIO2 maksimum turun selama 28 hari pertama pada bayi yang diberi profilaksis dibandingkan kelompok kontrol. Tidak ada satupun dalam uji klinik pemberian surfaktan profilaksis yang memberikan efek merugikan pada saat pemberian maupun sesudahnya. Pada penelitian yang dilakukan oleh kelompok studi penelitian neonatus di Texas tentang keberhasilan dan keselamatan pemberian surfaktan dini terhadap 132 bayi RDS ringan sampai sedang dengan berat = 1250 gram, masa gestasi = 36 minggu, usia postnatal 4 -24 jam. Dalam peneltian ini disebutkan bahwa tanpa pemberian surfaktan dini, didapatkan hanya 43% bayi RDS yang memakai ventilasi, dan dalam waktu singkat yaitu 31 jam. Secara keseluruhan disebutkan bahwa pemberian rutin yang direncanakan pada bayi prematur, tidak direkomendasikan.





BAB III

PENUTUP

3.1     KESIMPULAN
Respiratory Distress Syndrome (penyakit membran hialin) merupakan penyebab terbanyak dari angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur. Hal ini disebabkan adanya defisiensi surfaktan yang menjaga agar kantong alveoli tetap berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas. Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang diberikan pada bayi prematur dengan RDS.
Berdasarkan hasil penelitian,surfaktan merupakan terapi yang penting dalam menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi prematur. Disebut terapi profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu pertolongan pertama pada bayi prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat tentang waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah lahir (pada bayi prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress Syndrome. Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian profilaksis berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur akan mengalami kerusakan dalam beberapa menit setelah pemberian ventilasi.

3.2     SARAN
Berdasarkan uraian tentang penatalaksanaan terapi surfaktan terhadap bayi prematur dengan RDS sebagai salah satu upaya untuk menurunkan angka kematian bayi prematur akibat RDS, maka masukan dan saran yang dapat diberikan adalah sebagai berikut :
3.2.1     Bagi Mahasiswa
Mahasiswa diharapkan mampu mencari dan mengembangkan pengetahuan dari berbagai sumber tentang penatalaksanaan terbaru terhadap berbagai masalah kesehatan khususnya kegawatdaruratan pada bayi.
3.2.2     Bagi  Lahan Praktek
Terapi surfaktan pada bayi dengan RDS merupakan teori lama yang telah dikembangkan pada rumah sakit yang lebih maju. Meskipun pemberian surfaktan terhadap bayi prematur dengan RDS di Ruang Perinatologi RSU Dr.H.Koesnadi Bondowoso masih belum bisa dilaksanakan karena beberapa hal, diharapkan perawat perinatal tetap mengikuti perkembangan ilmu terbaru tentang penatalaksanaan neonatus, salah satunya adalah terapi surfaktan pada bayi prematur dengan RDS.


3.2.3     Bagi Rumah Sakit
Mengingat cukup tingginya kasus bayi prematur dengan RDS di Ruang Perinatologi RSU Dr.H.Koesnadi Bondowoso dan pentingnya penatalaksanaan bayi prematur dengan RDS untuk menurunkan angka kematian bayi, maka sudah seharusnya RSU Dr.H.Koesnadi Bondowoso sebagai rumah sakit tipe-B untuk memberikan atau paling tidak mulai memikirkan kebijakan dalam hal penatalaksanaan bayi prematur khususnya dalam bentuk terapi Surfaktan.. 




DAFTAR PUSTAKA

Honrubia.D; Stark.AR. Respiratory Distress Syndrome. Dalam : Cloherthy J, Eichenwald EC, Stark AR,Eds. Manual of Neonatal Care,edisi 5. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins,2004:341-61.
Pusponegoro TS. Penggunaan Surfaktan pada Sindrom Gawat Nafas Neonatal. Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak no 27, Nopember 1997; 89-96
Gomella TL, Cunningham.MD, Eyal.FG, Eds. Hyaline Membran Disease (Respiratory Distress Syndrome) .Dalam Neonatology-Management, Procedures,On-Call Problems, Diseases, and Drugs; Edisi 5. McGraw-Hill.Co,2004;539-43.
Indarso F. Kegawatan nafas pada bayi baru lahir, respiratory distress syndrome resusitasi awal dan lanjut: Dalam Forum Komunikasi Ilmiah ( FKI ) Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK.Unair/RSUD Dr. Soetomo , 17 Pebruari 1999,1-6
Damanik MS, Indarso F, Harianto A, Etika.R Masalah Perawatan Pada Bayi Prematur. Pelatihan Perawatan Neonatologi, 8 Maret – 8 Mei 2004, 1-12.
Anonimous. Premature infant. dari : www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article 2002. Updated nopember 16,2002.
Goldenberg RL, Hauth JC, Andrews WW. Intrauterine Infection and preterm delivery. N Engl J Med 2000.
Haworth.S, Hislop.A. Lung development-the effect of chronic hypoxia. Seminars in Neonatology, 2003;1-8.
Scarpelli.M. Fetal lung maturity tests assess the capacity to form surfactant foam films at birth. Prenat Neonat Med 2001;15-20.
Anceschi MM, Breart G. Guidelines on fetal lung maturity tests. Prenat Neonat Med 2001;6:75-7.
Colin M, Peter D. Surfactant treatment for premature lung disorders: A review of best practices in 2002. Paed Respiratory Review 2004,299-304.
Pramanik.A.MD.Respiratory Distress Syndrome.dari :http://www.emedicine.com/topic 1993 htm updated july 2,2002.
Wright Jo. Pulmonary surfactant: a front line of lung host defense.dari :http://www.pediatrics.com/ updated juny 4, 2003.
Goldenring.J. Respiratory Distress Syndrome. Dari :www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article. Updated july 15, 2004.
Morley.C, Davis.P. Surfactant treatment for premature lung disorders: A review of best practices in 2002. In Paediatric Respiratory Reviews, 2004;299-304
Malloy, JL, Veldhuizen RA, McCormack FX, Korfhagen TR, Whitsett JA, and Lewis JF. Pulmonary surfactant and inflammation in septic adult mice: role of surfactant protein A. J Appl Physiol 2002;92:809-16.
Hudak ML, Farrell EE, Rosenberg AA, A multicenter randomized, masked comparison trial of natural versus synthetic surfactant for the treatment of respiratory distress syndrome. J Pediatr 1996;128:396-406
Griese. M. Pulmonary surfactant in health and human lung diseases: state of the art. Eur. Respir. J. 1999;13:1455-76.
Madsen. J. Localization of lung surfactant protein D on mucosal surfaces in human tissue. J. Immunol. 2000; 164: 5866-70.
Bermanshah E. Pencitraan pada kegawatan neonatus. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan II (Continuing Medical Education) IDAI JAYA 2005;59-74.